Dayak Sikukng adalah masyarakat Dayak yang mendiami tujuh kampung di sekitar Gunung Sunjang yakni Batu Ampar, Kadok, Medeng, Senoleng , Senebeh, Akit dan Lu. Oleh Pemerintah tujuh kampung ini dijadikan satu desa yang masuk dalam Kecamatan Jagoi Babang , Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat.
Dayak Sikukng yang biasa orang luar menyebutnya Dayak Sungkung, diberikan pada jaman penumpasan PGRS-PARAKU tahun 1965-1970an (menurut sumber lokal tentara-tentara yang memberi nama Sungkung). Padahal Masyarakat Dayak Sikukng tidak mau disebut Sungkung. Karena menurut mereka Sikukng adalah sebuah nama yang mempunyai arti sakral peninggalan nenek moyang mereka , yang berarti terakhir atau terjauh.
Oleh orang luar Dayak Sikukng terkenal pengayau, pemenggal kepala orang yang sadis. Membuat penduduk kampung sekitar Dayak Sikukng , takut dengan orang Sikukng. Padahal menurut tetua adat Sikukng , Magang , "Kami bukan pengayau seperti yang diceritakan orang-orang. Kami hanya mengayau untuk kebutuhan upacara Adat "Nyobekng". "Itu pun hanya berlangsung lima tahun sekali", lanjutnya.
Sebagian perempuan Sikukng masih berpakaian Tradisional hingga kini. Pakaian tradisional Dayak Sikukng banyak kemiripan dengan Suku Karen di Myanmar. Perempuan mengenakan Sulang (Gelang dari tembaga) yang diikatkan pada kaki dan tangan. Sedangkan pada bagian leher mereka menggunakan manik-manik sebagai hiasan. Sulang biasanya mulai dipakai anak perempuan sejak berumur 8 tahun, dan tidak pernah dilepas hingga meninggal. Mengenakan Sulang berarti melambangkan status keluarga terpandang.
Dalam hal perkawinan suami istri Dayak Sikukng apabila sudah merasa saling tidak suka, bisa berunding bersama-sama dan pisah baik-baik. Sehingga menurut catatan , tingkat perceraian di Dayak Sikukng sangat tinggi.
Daerah Sikukng dan sekitarnya pernah menjadi medan pertempuran antara Tentara Indonesia dengan Pasukan Pergerakan Rakyat Sarawak (PGRS) dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (PARAKU). Berbagai kesatuan TNI pernah bertugas di daerah perbatasan ini. Dan penduduk Sikukng mempunyai cara yang unik untuk mengenalnya , yaitu bila ada bayi lahir maka akan dinamakan sesuai dengan tentara, regu,batalyon yang bertugas pada saat itu. Maka sering ditemukan nama Kujang, Siliwangi, Batalyon bahkan nama-nama tentara pada penduduk Sikukng.
Pada masa pertempuran penduduk Sikukng membantu tentara dengan mengangkut sumber makanan dan amunisi dari kampung lain, memasak untuk tentara. Kedatangan tentara juga membuat Penduduk Sikukng tidak tenang berladang, menurut pengakuan sumber lokal "Tentara memeriksa bekal ke ladang, Pergi tidak boleh membawa lebih dari dua bungkus nasi. Khawatir kalau memberi makan PGRS". Penduduk yang hilang adalah merupakan hal yang wajar pada masa itu. Jika ada penduduk Sikukng yang ketahuan memberi makan PGRS maka akan dihukum mati.
Tetapi ada segi positif yang dibawa tentara, penduduk Sikukng mulai bisa membaca dan menulis pada saat itu, sebelumnya warga disana tidak bisa baca dan tulis. Tentara membuat sekolah di kampung-kampung untuk tempat belajar membaca dan menulis dan pengenalan tentang negara Indonesia.
Ada satu kesan yang mendalam bagi Pak Jepang (Nama Tetua adat Sikukng) pada saat belajar "Mereka (tentara) duduk dikursi dan kita bersila dibawah. Kalau ada kesalahan maka tidak segan-segan tendangan melayang ke badan kita".
Usai padamnya pemberontakan PGRS , penduduk banyak menemukan senjata dan granat yang tertinggal. Biasanya ditemukan bila mencangkul di kebun. "Kalau mendapat granat, mesiunya diambil untuk senapan latak" kenang salah satu sumber.
Ketakutan dan trauma masyarakat Sikukng atas kehadiran tentara tampak pada sikap mereka yang tidak berani kritis, dan takut dengan pemerintah. Padahal daerah yang dihuni Dayak Sikukng cukup terisolir , membuat banyak yang memilih untuk bekerja di Malaysia. Karena minimnya pendidikan penduduk Dayak Sikukng maka pada umumnya, para Lelaki bekerja di perkebunan atau jadi Kuli angkut , dan perempuan bekerja menjadi Pembantu Rumah Tangga.
Semoga pemerintah RI tergerak untuk membangun pemukiman Dayak Sikukng yang telah berjasa pada pemerintah RI di jaman pemberontakan PGRS-PARAKU
KR no 77 di tulis ulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar