Oleh Rony Teguh
Membaca kembali tulisan Bapak TT Suan di Kalteng Pos yang berjudul "Kilas Sejarah Perjuangan Rakyat Kalteng" memberikan pengalaman sejarah masa lalu yang sangat berharga bagi generasi muda yang ada di Kalimantan Tengah. Terlebih lagi penjelasan beliau lebih pada fase-fase perjuangan dari awal dan menuju kemerdekaan Indonesia. Sebagai pembaca saya sangat kagum sekaligus tergelitik dengan narasi-narasi yang diceritakan oleh Bapak TT Suan dari cara memandang, menulis serta menceritakan kembali masa lalu rakyat kita.
Jika merefleksikan kembali sejarah rakyat dan perjuangannya, tidak terlepas dari sudut pandang metodologi yaitu "sejarah rakyat".
Akan tetapi sejarah rakyat yang ditulis kembali oleh Bapak TT Suan hanya memiliki makna bertempur dengan Belanda. Setiap fase sejarah yang ada di Kalteng ditulis dengan logika angkat senjata dan logika perlawanan Belanda tanpa akhir sampai tetes darah penghabisan.
Pada akhirnya berujung kepada pengkultusan pahlawan-pahlawan, sedangkan bagi mereka yang bergaul dengan Belanda dianggap sebagai penghianat dan disingkirkan sejarah. Pengkultusan pahlawan yang melawan Belanda jika dengan jujur kita nilai merupakan mereka pada awalnya adalah menjadi penindas-penindas sebelumnya di mana kehilangan akses politik dan akses pemasukan berupa ekonomi.
Sebuah pertanyaan besar dalam pikiran saya, siapa itu pahlawan ?. Apapun bentuknya, sangat mustahil, yang diceritakan keberhasilan mereka. Sedangkan rakyat adalah subyek-subyek penderita dari kisah-kisah tersebut.
Sudut pandang sebenarnya dari sejarah rakyat adalah diceritakan sebagai sejarah penindasan terhadap diri mereka yaitu sejarah penaklukan, penyingkiran, dan penggusuran yang sistematis dari penindasan berlapis. Sangat bertolak-belakang dengan sejarah para penguasa yang selalu berhasil dalam membangun daerahnya.
Sejarah para penguasa yang hampir semua bukunya saya baca, ditulis dengan gaya keberhasilan yang mengembirakan, aman sentosa serta penuh kemakmuran. Ditulis tanpa cacat cela bagaikan juru selamat bagi rakyatnya. Itulah narasi - narasi penguasa. Namun di balik topeng-topeng itu sebenarnya adalah sejarah penindasan bagi rakyat.
Membicarakan penindasan rakyat terutama Suku Dayak karena kita mencoba menulis kembali sejarah rakyat dan perjuangannya dengan pendekatan studi post kolonial, tidak bisa kita ambil dari bangsa Eropa sebagai konsentrasi sejarah penindasan awal. Penindasan teramat menyakitkan terlebih dahulu dilakukan oleh kaum feodalisme yaitu raja-raja di kerajaan Banjar.
Dalam hal ini pemerintahan penggustian dan ketemanggungan merupakan permulaan penindasan terhadap Dayak. Upeti - upeti dari tanah Dayak disetor kepada sultan di Banjarmasin sebagai pemusatan ekonomi dan politik. Untuk melebarkan sayap-sayap penindasan, diangkatlah temanggung sebagai pemungut cukai bagi sultan. Wajah - wajah yang dikenal oleh orang Dayak sebagai rakyat saat itu adalah wajah - wajah penindas baik secara politik dan ekonomi adalah wajah para prajurit sultan dan wajah pemungut cukai. Dengan demikian orang - orang Dayak yang ditindas hidupnya hanya untuk menghidupi para "babuhan" feodalisme yang bergaya mewah dipemerintahan penggustian. Tidak kecuali aristokrat Dayak merasakan enaknya hidup di bawah pemerintahan tersebut,
Sekali lagi sejarah rakyat berkorelasi dengan sejarah penindasan kehidupan mereka, sebuah sejarah di bawah penindasan sistem feodalisme kesultanan Banjar, orang Dayak banyak mengalami berbagai penindasan dan kesengsaraan, sejarah penindasan Dayak ini sangat terekam dengan baik dalam surat seorang temanggung Pulau Petak yang sangat terdidik di eranya, temanggong Nikodemus Ambo Djajanegara. Karena orang Dayak waktu itu banyak dibodohi karena tidak bisa membaca dan menulis dan betapa kehidupan sengsaranya di bawah tirani sultan.
Pada masa kesultanan Banjar ini mulai gelar-gelar diberikan seperti Dambung, Singa, Tamanggong, Pangkalima kepada orang Dayak sebagai bentuk perpanjangan kaki tangan kesultanan. Sebuah strategi cuci tangan dari penindas agar wajah-wajah cantik kesultanan tidak terbongkar. Dengan diberi gelar tersebut, mulailah di exploitasi kegiatan ekonomi terhadap tanah dan bumi orang Dayak. Pajak-pajak di kumpulkan untuk mengisi kas kerajaan dan untuk membiayai kehidupan mewah bangsawan dan gusti, perempuan dijadikan gundik oleh sultan jika kalah perang. Larangan sultan pun sampai menyentuh dalam hal tata cara hidup dan berpakaian orang Dayak, karena dipandang membawa bencana, penyakit dan malapetaka.
Dari keterangan schwaner mengenai pertempuran besar di Sungai Tarusan tahun 1825, dan penangkapan orang Dayak (oloh ngaju) oleh prajurit sultan kemudian dijadikan budak untuk pergi berperang menjadi pasukan pembantai bagi sultan.
Mesin pembantai inilah dengan sistematis diciptakan kolonial lokal pada waktu itu untuk membuat rakyat hidup dalam perasaan was-was dengan target pencapaian adalah perlindungan dari kerajaan dan sebagai imbalan jasa dari perlindungan tersebut adalah pajak yang membiaya kehidupan kerajaan.
Di sini, domain politik dan ekonomi bermain sebagai pion untuk menaklukan rakyat. Politik pemecahan belahan Dayak dengan mengunakan struktur Daerah Aliran Sungai (DAS) melahirkan saling bantai antar suku. Sebuah penindasan orang-orang Dayak dimulai dari tirani kesultanan Banjar. Negara yang dikenal orang Dayak dari kejauhan tersebut menghantui setiap kehidupan mereka. Sebuah kehidupan yang ditaklukkan dan terpinggirkan.
Begitu juga dengan cerita - cerita kerajaan yang di nusantara ini. jika jeli memperhatikan sejarah indonesia hampir semua melakukan penindasan ke rakyat jelata. Sehingga streotipe perlawanan dan penulisan sejarah selalu diarahkan kepada bangsa - bangsa eropa. 3 ½ abad begitu sejarah menulis, namun rakyat di tindas bangsanya sendiri melebihi dari bangsa eropa.
Di zaman kolonial Belanda, masa-masa ini pertarungan bergerak pada domain politik dan ekonomi dan pengurasan sumber daya.
Alangkah lucunya sejarah ini seketika sebuah perang yang melawan Belanda menjadi cikal bakal perjuangan melepaskan diri dari cengkraman penindasan dan menuju kemerdekaan Indonesia. Kekuasaan feodalisme seolah-olah cuci tangan atas dosa-dosa penindasan terhadap rakyat di hulu sungai dan di tanah Dayak. Perang Barito adalah sebuah reaksi perselisihan internal perebutan kekuasaan di keraton Banjarmasin. Tarmiji di dukung dengan modal VOC, sedangkan Hidayat merasa ditipu oleh kolonial Belanda. Pangeran yang kalah dari kerajaan Banjar versi rakyat yang putus asa dan tidak terpilih lalu lari ke pedalaman Barito dan dilucuti semua kekuasaannya lalu menobatkan dirinya sendiri sebagai raja di pedalaman dengan mengangkat penasehat spritual, para temanggung dari suku Dayak menurut versi pemberontak.
Ini sama halnya dengan cerita kerajaan Mataram dikalahkan oleh Portugis di Pesisir Jawa sehingga melarikan ke padalaman dan mendirikan kerajaan baru. Upaya VOC meredam pemberontakan di Barito bukan karena pangeran dari saudara tiri dan pengikutnya tersebut menjadi pengacau di pedalaman. Namun Belanda dengan militernya mengamankan pundi - pundi ekonomi milik VOC antara lain tambang batu bara.
Zaman sudah bergerak, penindasan gaya feodalisme yang kolot digantikan dengan gaya penindasan baru yaitu kapitalisme.
Namun ada hal yang menarik. Masa-masa kemakmuran yang diceritakan di zaman feodalisme hanyalah khayalan-khayalan pujangga-pujangga kerajaan dalam menuliskan kesuksesan sebuah kemakmuran, di balik itu ada sejarah perbudakan manusia , sejarah penindasan rakyat.
Berbeda dengan Kolonial Belanda, sebagai penindas yang baru, Kolonial membawa nilai-nilai kemanusiaan yang baru dalam sejarah rakyat.
Perjanjian tumbang anoi merupakan produk perjanjian "kudus" antar sesama Dayak. Sebuah perjanjian untuk menghentikan rasa kebencian antar suku Dayak di aliran-aliran sungai.
Peninggalan politik pemecahan belahan warisan feodalisme sultan Banjarmasin.Kolonial juga memberikan sisi hitam yang pekat dalam pengambilan kekuasaan politik dan ekonomi di tanah Kalimantan.
Sejarah rakyat di Tanah Dayak terbangun dari masa ke masa, sejarah yang penuh dengan pengurasan ekonomi, penghancuran sistem adat demi kepentingan kekuasaan. Cikal bakal lahir ideologi pembebasan Pakat Dayak menghantarkan lahirnya pembebasan dari Kalimantan Selatan sebagai provinsi yang berdiri sendiri.
Seiring waktu, sejarah penindasan akan tetap ada dengan adanya kepentingan kekuasaan politik dan ekonomi. Kalimantan Tengah sebuah provinsi yang berlimpah sumber daya. Pengurasan sumber daya sudah terjadi dari jaman dahulu dari jaman feodalisme kerajaan, Kolonial Belanda, Orde baru, dan terakhir di era reformasi. Sebuah penindasan berlapis. Penindasan bersinergi dengan kebijakan penguasa dan angkat senjata.
Dulu waktu orde baru, rakyat dikategorikan sebagai peladang berpindah karena banyak mengambil kayu. Sewaktu investasi modal masuk dengan kekuatan perusahaan besar, mengambil kayu, tidak dikategorikan sebagai penjarah dan selalu lolos.
Sekarang masyarakat dikategorikan lagi sebagai pembakar hutan. Yang membakar berhektar-hektar paling tidak ancaman "bedil" sampai juga dihadapan mereka.
Tapi tidak mungkin, modal dan bedil adalah satuan tidak terpisahkan seperti sejarah-sejarah penaklukan dan penundukan, bedil sebuah cara paling efektif untuk melindungi aset-aset ekonomi penguasa. Minimal Raport Merah Gubernur dihadapan SBY yang kemaren-kemaren bisa diperbaiki nilainya tanpa harus gunakan bedil.
Tulisan ini kritik atas tulisan bapak TT Suan yang sangat melupakan sejarah rakyat yang tertindas, yang tidak melulu melawan penjajah belanda dan pertempuran sengit, namun pertarungan itu nyata sekarang bahwa pertarungan atas akses ekonomi dan politik, sewaktu penguasa bicara dengan bedil saat itu sejarah rakyat hidup dalam penindasan dan penaklukan.
*) Masyarakat tinggal di Palangka Raya, dimasa kecil pernah menjadi peladang didaerah Lamandau
puna katutu jituh pak 👍
BalasHapusSemoga makin membuka mata kita
Hakai mantap kesah te
BalasHapusBung...saya pikir anda tidak mengikuti semua tulisan tulisan Bp. T.T. Suan. dalam banyak tulisan pun beliau kerapkali menulis perjuangan rakyat yang "tidak hanya" melulu tentang angkat senjata. Konteks nya anda lihat dulun ketika bp T.T.Suan menulis "kilas sejarah perjuangan rakyat kalimantan tengah samapai pada kemerdekaan" ya tentu beliau berbicara perlawanan mengangkat senjata sampai pada fase kemerdekaan. Banyak sekali tulisan beliau yang mengupas tentang masyarakat adat dayak yang terpinggirkan. mungkin saja anda kurang memahami kontek ketika beliau menulis....salam (anak Bp. T.T.Suan)
BalasHapus