Jumat, 28 Februari 2014

Sejarah Perjanjian Tumbang Anoi tahun 1894


Untuk mempersatukan wilayah Borneo, maka pada tahun 1894, atas prakarsa Damang Batu, dari desa Tumbang Anoi di Kalimantan Tengah mengumpulkan semua orang yang memiliki gelar tamanggung, damang, dambung, dohong..se-Borneo, dalam perjanjian Tumbang Anoi.Perjanjian Tumbang Anoi sendiri dimulai dengan pertemuan pendahulu yang disebut dengan Pertemuan Kuala Kapuas, pada tanggal 14 Juni 1893. Dalam pertemuan tersebut membahas beberapa hal sebagai persiapan untuk melakukan pertemuan yang lebih besar, diantaranya adalah :
1.      Memilih siapa yang berani dan sanggup menjadi ketua dan sekaligus sebagai tuan rumah untuk menghentikan 3 H (Hakayau=Saling mengayau, Hopunu=saling membunuh, dan Hatetek=Saling memotong kepala musuhnya).
2.      Merencanakan di mana tempat perdamaian itu.
3.      Kapan pelaksanaan perdamaian itu.
4.      Berapa lama sidang damai itu bisa dilaksanakan.


Damang Batu saat itu menyanggupi untuk menjadi tuan rumah sekaligus menanggung biaya pertemuan yang direncanakan berlangsung selama 3 bulan tersebut. Karena semua yang hadir juga tahu bahwa Damang Batu memiliki wawasan yang luas tentang adat-istiadat yang ada di Kalimantan pada waktu itu, maka akhirnya semua yang hadir setuju.

Akhirnya dalam pertemuan pendahulun ini disepakati bahwa :
1.      Pertemuan damai akan dilaksanakan di Lewu (kampung) Tumbang Anoi, yaitu di Betang tempat tinggalnya Damang Batu.
2.      Diberikan waktu 6 bulan bagi Damang Batu untuk mempersiapkan acara.
3.      Pertemuan itu akan berlangsung selama tiga bulan lamanya.
4.      Undangan disampaikan melalui tokoh/kepala suku masing-masing daerah secara lisan sejak bubarnya rapat di Tumbang Kapuas.
5.      Utusan yang akan menghadiri pertemuan damai itu haruslah tokoh atau kepala suku yang betul-betul menguasai adat-istiadat di daerahnya masing-masing.
6.      Pertemuan Damai itu akan di mulai tepat pada tanggal 1 Januari 1894 dan akan berakhir pada tanggal 30 Maret 1894.

Pertemuan Damai akhirnya terlaksana pada 1 Januari 1894 hingga 30 Maret 1894, di Rumah Betang Damang Batu di Tumbang Anoi. Tidak didapatkan informasi lengkap mengenai jumlah peserta dan kepala suku yang hadir saat itu namun dijelaskan bahwa dalam pertemuan damai itu, menghasilkan keputusan yang bersejarah :
1.      Menghentikan permusuhan antar sub-suku Dayak yang lazim di sebut 3H Hakayou (saling mengayau), Hapunu  (saling membunuh), dan Hatetek  (saling memotong kepala) di Kalimantan (Borneo pada waktu itu).
2.      Menghentikan sistem Jipen (hamba atau budak belian) dan membebaskan para Jipen dari segala keterikatannya dari Tempu (majikannya) sebagai layaknya kehidupan anggota masyarakat lainnya yang bebas.
3.      Menggantikan wujud Jipen yang dari manusia dengan barang yang bisa di nilai seperti baanga (tempayan mahal atau tajau), halamaung, lalang, tanah / kebun atau lainnya.
4.      Menyeragamkan dan memberlakukan Hukum Adat yang bersifat umum, seperti : bagi yang membunuh orang lain maka ia harus membayar Sahiring (sanksi adat) sesuai ketentuan yang berlaku.
5.      Memutuskan agar setiap orang yang membunuh suku lain, ia harus membayar Sahiring sesuai dengan putusan sidang adat yang diketuai oleh Damang Batu. Semuanya itu harus di bayar langsung pada waktu itu juga, oleh pihak yang bersalah.
6.      Menata dan memberlakukan adat istiadat secara khusus di masing-masing daerah, sesuai dengan kebiasaan dan tatanan kehidupan yang di anggap baik.

Pertemuan yang sangat bersejarah tersebut ternyata menghasilkan kesepakatan yang fenomenal, yakni menghilangkan kemungkinan perang antar suku dan sekaligus menghapus perbudakan dalam sistem tatanan adat suku dayak. Selain itu mereka juga berupaya untuk membentuk tatanan bersama yang diwujudkan dalam kesepakatan untuk menyeragamkan aturan dalam hukum adat yang sifatnya umum.
Sampai sekarang situs peninggalan perjanjian di Tumbang Anoi masih tersisa.Namun atas rekayasa pemerintah Belanda, pada saat itu tempat Perjanjian Tumbang Anoi yang berupa BETANG, dihancurkan oleh tentara belanda agar perjanjian di Tumbang Anoi di anggap tidak ada. bahan bangunannya dipindahkan sebagian ke Kuala Kapuas, namun tidak dapat mengangkut semua materialnya karena terbuat dari batang ulin yang sangat dalam tertancap tanah, besar, berat serta medan yang panjang melalui sungai yang panjang untuk mengangkutnya.
Tumbang Anoi adalah tempat bersejarah perjalanan masyarakat Dayak. Tumbang Anoi menjadi tempat rapat akbar untuk mengakhiri tradisi ”mengayau” pada tahun 1894. Kini, setelah satu abad berlalu, Tumbang Anoi tetap menjadi sumbu perdamaian bagi masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah. Mengayau atau memenggal kepala musuh dalam perang antarsuku dahulu kala adalah salah satu kebiasaan sejumlah subsuku Dayak di daratan Kalimantan (kini terbagi menjadi wilayah Indonesia, Malaysia, dan Brunei) yang sangat ditakuti. Kadangkala, mengayau tidak hanya dilakukan dalam peperangan, tetapi juga ketika merampok, mencuri, atau menduduki wilayah subsuku lain.
Sebelum disepakati untuk dihentikan, mengayau makin membudaya karena semakin banyak kepala musuh yang dipenggal (dibuktikan dengan banyaknya tengkorak musuh di rumahnya), seorang lelaki semakin disegani. Bahkan, perselisihan antarsuku terus berlanjut karena masing-masing suku membalas dendam. Perselisihan berkepanjangan itu membuat Residen Belanda di Kalimantan Tenggara yang kini meliputi wilayah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan merasa tidak aman.
Dalam bukunya, Pakat Dayak, KMA M Usop menuturkan, Brus, Residen Belanda Wilayah Kalimantan Tenggara, pada Juni 1893 mengundang semua kepala suku yang terlibat sengketa ke Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah, untuk membicarakan upaya perdamaian.
Dalam pertemuan itu disepakati, harus digelar pertemuan lanjutan yang melibatkan seluruh suku Dayak di Borneo untuk membahas berbagai persoalan yang menjadi akar perselisihan. Namun, menggelar pertemuan lanjutan itu bukan pekerjaan mudah. Ketika itu, akses antarwilayah masih mengandalkan sungai.
Satu-satunya kepala suku yang mengajukan diri untuk menjadi tuan rumah pertemuan akbar itu adalah Damang Batu, salah satu kepala suku Dayak Ot Danum di Tumbang Anoi. Sepulang dari Kuala Kapuas, Damang Batu yang ketika itu berumur 73 tahun langsung memulai pekerjaan besarnya menyiapkan tempat dan logistik.
Selama lima bulan hingga akhir 1893, Damang Batu tak pernah menetap di desanya. Ia terus berkeliling ke desa lain untuk mengumpulkan makan an. Ada cerita lain yang menyebutkan, Damang Batu juga menyiapkan 100 kerbau miliknya untuk makan an para undangan. Ia juga meminta masyarakat di Tumbang Anoi dan sekitarnya membangun pondok bagi tamu undangan rapat.
Damang Batu jugalah yang menyebarkan undangan rapat secara berantai kepada kepala suku-kepala suku di daratan Kalimantan.
Sebanyak 152 suku diundang ke Tumbang Anoi. Dalam rapat yang digelar selama dua bulan sejak 22 Mei hingga 24 Juli 1894 itu, sekitar 1.000 orang hadir. Mereka dari suku-suku Dayak dan sejumlah pejabat kolonial Belanda wilayah Borneo. Usop juga mencatat, sedikitnya 50 kerbau, 50 sapi, dan 50 babi, serta bahan makan an lain seperti beras dan ubi kayu disediakan untuk konsumsi mereka yang hadir ketika itu.
Selain mengakhiri tradisi pengayauan, rapat akbar itu juga menyepakati beberapa keputusan penting, di antaranya menghentikan perbudakan dan menjalankan hukum adat Dayak.
Dalam catatan sejarah yang ditulis Usop, rapat di Tumbang Anoi itu juga membahas sekitar 300 perkara. Sebanyak 233 perkara dapat diselesaikan, 24 perkara ditolak karena kedaluwarsa atau sudah lebih dari 30 tahun, dan 57 ditolak karena kekurangan bukti.


Tumbang Anoi menjadi tempat perdamaian sebelum abad 19 upaya-upaya perdamaian itu memang sudah mulai dilakukan oleh beberapa pihak. Rapat atau Pumpung di Tumbang Anoi memang di prakarsai oleh Belanda, dan dipilih desa tersebut mengingat letaknya yang berada di tengah-tengah, sehingga para undangan dari segala daerah dapat dengan mudah datang. Nama-nama yang hadir dalam pertemuan tersebut yaitu tokoh-tokoh yang dipercayai oleh masyarakat, sebagaimana catatan Damang Pijar, kepala adat Kahayan Hulu, ialah sebagai berikut:
1.      Asisten Residen Hoky dari Banjarmasin
2.      Kapten Christofel dari Kuala Kapuas
3.      Letnan Arnold dari Kuala Kapuas
4.      Raden Johannes Bangas dari Kuala Kapuas
5.      Jaksa Sahabu dari Kuala Kapuas
6.      Tamanggung Dese dari Kuala Kapuas
7.      Juragan Tumbang dari Kuala Kapuas
8.      Suta Nagara, Telang—sungai Mahakam (Kalteng)
9.      Tamanggung Jaya Karti, Buntok
10.  Tamanggung Sura, Buntok
11.  Mangku Sari, Tumbang (Muara) Teweh
12.  Tamanggung Surapati, Siang
13.  Tamanggung Awan, Saripoi
14.  Tamanggung Udan, Nyarung Uhing
15.  Jaga Beruk, Tumbang Kunyi
16.  .Raden Sahidar, Tumbang Jelay
17.  .H. Bamin, Tumbang Jelay
18.  Tamanggung Hadangan, Tumabang Likoi
19.  Tamanggung Lenjung, Tumbang Lahei
20.  H. Bahir, Tumbang Lahung
21.  .H. Halip, Tumbang Lahung
22.  .Bang Ijuk, Batu Salak—Sungai Mahakam (KalTim)
23.  Kawing Irang, Batu salak
24.  Bang Lawing, Batu salak
25.  Taman Lasak, Tumbang Pahangei
26.  Juk Bang, Tumbang Pahangei
27.  Juk Lai, Tumbang Pahangei
28.  H. Burit, Samarinda
29.  Taman Jejet, Long Iram
30.  Taman Kuling, Kenyahulu
31.  Hang Lasan, Tumbang Nawang
32.  Barau Lulung, Tumbang Pahangei
33.  Damang Ujang, Pujon—Sungai Kapuas (KalTeng)
34.  Tamanggung Tukei, Tumabang Bukoi
35.  Damang Suling, Tumbang Tihis
36.  Damang Jungan, Tumaban Bukoi
37.  Damang Pilip, Tumbang Rujak
38.  Temanggung Tewung, Tumbang Sirat
39.  Damang Antis, Taran
40.  Jaga Ajun, Tumbang Tampang
41.  Tamanggung Jahit, Danau Tarung
42.  Tamanggung Tiung, Tumbang Tarang
43.  Siang Irang, Bulau Ngandung
44.  Raden Timbang, Tumbang Tihis
45.  Damang Rahu, Tumbang Tihis
46.  Damang Rambang, Pangkoh—sungai Kahayan (KalTim)
47.  Singa Rawe, Petak Bahandang
48.  Ngabeh Suka, Pahandut
49.  Tamanggung lawak, Bukit Rawi
50.  Jaga Kamis, Bawan
51.  Damang Sawang, Pahawan
52.  Tundan, Guha
53.  Dambung Tahunjung, Sepang Simin
54.  Dambung Turung, Tuyun
55.  Jaga Saki, Luwuk Sungkai
56.  Kiai Nusa, Tumbang Hakau
57.  Singa Laju, Hurung Bunut
58.  Singa Mantir, Teweng Pajangan
59.  Raden Binti, Tampang
60.  Mangku Tarung, Tampang
61.  Tamanggung Tuwan, Kuala Kurun
62.  Singa Ranjau, Kuala Kurun
63.  Ngabe Hanjung, Tumbang Manyangan
64.  Damang Murai, Tewah
65.  Dambung Nyaring, Tewah
66.  Singa Mantir, Kasintu
67.  Singa Antang, Batu Nyiwuh
68.  Tamanggung Tawa, Tumbang Habaon
69.  Tembak, Tumbang Hanbaon
70.  Damang Sangkurun, Tumbang Sarangan
71.  Damang Kacu, Datah Pacan
72.  Dambung Odong, Tumbang Miri
73.  Mangku Saman, Tumbang Marikoi
74.  Singa Saing, Tumbang Marikoi
75.  Bahau, Tumbang Marikoi
76.  Singa Ringin, Tumbang Maraya
77.  Mangku Rambung, Lawang Kanji
78.  Akin, Lawang Kanji
79.  Mangku Rambung, Tumbang Rambangun
80.  Damang Batu, Tumbang Anoi
81.  Dambung Karati, Tumbang Anoi
82.  Dambung Sanduh, Lawang Dahorang
83.  Singa Dohong, Tumbang Mahorai
84.  Raden Pulang, Tumbang Mahorai
85.  Dambung Saiman, Sungai Hurus, Sungai Hamputung
86.  Singa Kating, Tumbang Korik, Sungai Hamputung
87.  Jaga Jalan, Tumbang Korik, Sungai Hamputung
88.  Tamanggung Paron, Tumbang Sonang, Sungai Hamputung
89.  Damang Kawi, Tumbang Sonang, Sungai Hamputung
90.  Tamanggung Pandung, Tumbang Musang, Sungai Miri
91.  Damang Teweh, Tumbang Pikot, Sungai Miri
92.  Damang Patak, Tumbang Hujanoi, Sungai Miri
93.  Mangku Turung, Mangkuhung, Sungai Miri
94.  Dambung Besin, Tumbang Manyei, Sungai Miri
95.  Singa Tukan, Tumbang Masukih, Sungai Miri
96.  Singa Dengen, Harueu, Sungai Miri
97.  Damang Jinan, Tumbang Manyoi, Sungai Miri
98.  Damang Singa Rangan, Tumbang Malahoi, Sungai Rungan, dan Manuhing
99.  Singa Ringka, Tumbang Malahoi, Sungai Rungan dan Manuhing
100. Damang Bakal, Manuhing, Sungai Rungan dan Manuhing
101. Tamanggung Hening, Manuhing, Sungai Rungan dan Manuhing
102. Damang Anggen, Katingan—Sungai Katingan
103. Damang Sindi, Lahang, Sungai Katingan
104. Dambung Rahu, Talunei, Sungai Katingan
105. Damang Bundan, Tumbang Sanamang, Sungai Katingan
106. Raden Runjang, Tumbang Panei, Sungai Katingan
107. Dambung Panganen, Tumbang Panei, Sungai Katingan
108. Raden Tinggi, Balai Behe, Sungai Sanamang
109. Tamanggung Penyang, Tumbang Bemban, Sungai Sanamang
110. Tamanggung Rangka, Tumbang Sanamang, Sungai Sanamang
111. Tamanggung Tumbun, Rantau Pulut, Sungai Seruyan
112. Damang Jungan, Tumbang Kalanti, Sungai Kalang
113. Singa Antang Kalang, Tumbang Gagu, Sungai Kalang
114. Tamanggung Johan, Tumbang Manggu, sungai Samba
115. Damang Awat, Tumbang Basain, sungai Samba
116. Tamanggung Bahe, Rantau Tapang, Sungai Samba
117. Raden Maung, Tumbang Hangei, Sungai Samba
118. Tamanggung Luhing, Tumbang Atei, Sungai Samba
119. Condrohur, Tumbang Jinuh—(KalBar)
120. H. Mansyur, Tumbang Jinuh
121. Tamanggung Bungai, Tumbang Ela
122. Marta Jani, Nasa Jinuh
123. Kiai Saleh, Manukung
124. Raden Adong, Manukung
125. Raden Paku, Manukung
126. H.Mas Maruden, Sakasa
127. Raden Lang Laut, Sarawai—Sungai Sarawai (Kalimanan Utara)
128. Raden Bundung, Tuntama, Sungai Serawai
129. Raden-Singa Luwu, Malakan, Sungai Serawai
130. Raden Damang Bewe, Mantonai, Sungai Serawai
131. Tamanggung Singa Nagara, Tumbang Nyangai, Sungai Serawai
132. Tamanggung Mangan, Batu Saban, Sungai Serawai
133. Tamanggung Tingai, Punan Mandalan, Sungai Serawai
134. Tam Juhan, Tumbang karamei, Sungai Serawai
135. Tam Dulah, Tumbang Balimbing, Sungai Serawak
136. Tam Sarang, Mondai, Sungai Serawai


Tidak ada komentar:

Posting Komentar