Kamis, 27 Februari 2014

Nyai Balau, pendekar wanita dari Tewah

Desa Tewah termasuk desa yang cukup besar dan banyak penduduknya, serta aman tenteram dan makmur pada seratus tahun yang lalu. Masa itu hiduplah dua orang wanita kakak beradik bernama Balau dan Tajuh, sebagai anak dari  Nyahu dan isterinya Manyang.  Mereka berdua telah bersuami.  Balau dengan Laut sedangkan Tajuh dengan Mecen. Balau seorang perempuan yang berjiwa besar, bijaksana,tajam pemikirannya,  panjang akal dan tanggap dalam  mengatasi  berbagai kesulitan  maupun  bahaya yang  dihadapi  masyarakat sedesanya.    
                       
          Suatu ketika terbetik kabar ada segerombolan asang (serangan seseorang atau kelompok yang dengan kejam mencencang, tasang-mencencang)  dari hulu sungai Barito di  bawah  pimpinan tamanggung (gelar kebesaran bagi seorang pemimpin suku atau sebuah betang) Dupa sebanyak sembilan ribu orang akan maasang (menyerang dan mencencang musuh yang ditemui) desa Tewah.Hal ini mengejutkan dan membuat takut penduduk desa Tewah, karena tidak mungkinuntuk menghadapi musuh sebanyak itu.                  
          Untungsaja betang yang ada di desa Tewah itu telah mempunyai pagar kuta (pagar pengaman atau benteng tradisional yang ditancapkan dan disusun rapat. Biasa digunakan kayu ulin, batang kelapa, batang pinang atau rigei, sejenis palma).Tanpa berunding  dengan segera Balau memerintahkan  jipennya (budak, pelayan) membenahi pagar kuta dan menambahkekuatannya.                                                  
         Mereka yang  tinggal di pondok, di ladang, di luar pagarkuta lalu dipanggil masuk beserta dengan ternak piaraannya dari padaditinggalkan untuk bahan makanan musuh. Selain itu dikumpulkan  pula kayu  bakar  dan beratus-ratus batang bambu betung dantamiang.
          Sebenarnya jumlah asang anak buahTamanggung Dupa hanya lima ratus orang saja. Sedangkan penduduk desa Tewah waktu itu yang berada dalam  kuta  cuma empat  ratus dua puluh sembilan orang. Jumlah lelaki dewasa yang cakap menggunakan senjata hanya tujuh puluh sembilan orang, lainnya wanita dan anak-anak.           
          Ketika gerombolan asang itu datang, penduduk yang tinggalnya jauh dari kuta dan tidak sempat masuk, habis dibunuh asang tersebut. Kaum lelaki yang muda dan kuat dibiarkan  hidup dan ditawan sebagai jipen.
          Senjata yang sama dipergunakan olehkedua belah pihak yakni sumpitan (senjata tradisional suku Dayak terbuat dari kayu ulin berlubang seperti laras senapan, damek sebagai pelurunyayang dihembuskan dengan mulut terbuat dari bambu yang diberi ipu atau racun yang dalam komposisi tertentu dapat mematikan, mandau(senjata tradisional suku Dayak, sejenis parang), tombak dan duhung (senjata tradisional suku Dayak mata berbentuk tombak).
          Ujung damek (anak sumpitan, lihat : sumpitan) diberi  ipu  (racun pada damek atau senjata lain, lihat :sumpitan) dari  getah kayu siren.  Masa itu senjata  sumpitan sangat ditakuti sebab sangat  mematikan, dalam jarak yang efektif sesuai kekuatan hembusan peniupnya antara sepuluh sampai tiga puluh depa.  Dalam desa Tewah sendiri waktu itu  terdapat pula beberapa pucuk meriam serta lela(meriam kecil).
          Karena  pertempuran secara  berhadapan  langsung dihindari penduduk Tewah yang kalah jumlah lelakinya yang pandai berkelahi, maka gerombolan asang lalu mengepung desa itu dengan perkiraan mereka akan menyerah sebab kehabisan makanan. Mereka tidak mengetahui bahwa bahan makanan penduduk dalam kuta itu mampu untuk bertahan sampai enam bulan.       
          Setiap harinya  dalam pagar kuta Tewah  yang dikepung asang itu kaum wanita aktif bekerja membantu kaum lelakinya membuat suah (ranjau dari bambu runcing) dan tombak dari bambu yang ditebarkan sekeliling kuta bagian luar. Hampir tiap malam terdengar jerit kesakitan disusul erangan kematian dari kawanan asang yang berani mendekati pagar kuta. Sudah lebih dari tiga puluh orang yang meninggal terinjak suah yang beracun.
           Tamanggung Dupa sangat jengkel menghadapi perlawanan penduduk desa Tewah ini dan ia pun berseru dengan nyaring: “Hai penduduk Tewah, lebih baik kalian menyerahkan diri serta harta bendakalian, dari pada nanti kami binasakan !”
          Apa jawaban penduduk desa Tewah ?  Dengan lantang Nyai Balau berseru: “Kami tidak akan menyerah !”
          Mendapat  jawaban ini Tamanggung Dupa berkata pada anak buahnya : “Nampaknya cara  yang mudah untuk mengalahkan mereka sudah tidak kita peroleh. Malah puluhan kawan kita telah mati sia-sia kena suah beracun mereka. Untuk pulang tanpa hasil kita semua pasti malu, sebab  itu  buatlah haramaung nyaran!”                                                  
          Mereka lalu menebang bambu-bambu dan mencari baner (akar papan seperti dinding dari pohon kayu dalam rimba) kayu. Lalu dibuatlah haramaung nyaran itu seperti sebuah gerobak dengan roda dari baner kayu beratapkan bambu panjang yang dikebat bulat-bulat.Di bawah kebatan bambu dapat berlindung puluhan orang.
          Kawanan asang mencoba mendekati pagar kuta, untuk membakar desa dengan menggunakan kayu panjang berbentuk katapel  untuk  melontarkan api.  Balau dan suaminya Laut,  Mecen iparnya dan Nganen, seorang pemuda yang berani memimpin warganya menghadapi haramaung nyaran ini dengan cara dijatuhi  balokan ulin besar  hingga hancur.
          Ketika kawan asang yang berlindung dibawahnya  ke luar, lalu dihujani dengan sumpitan dan tombak bambu runcing. Tanah sekitar pagar kuta telah pula bertaburan dengan suah serta jebakan-jebakan maut lainnya, menyebabkan korban semakin bertambah saja. Apalagi meriam pun ditembakkan sesekali yang akibatnya membuat hancur berantakan haramaung nyaran berikut asang yang berlindung dibawahnya.
          Diam-diam ternyata desaTewah mendapat  bantuan dari  desa Tampang  dan desaTumbang Pajangei.  Mereka mengintai dan menyelinap membunuhi gerombolan asang  tersebut  sewaktu tidur.
          Keadaan ini sangat meruntuhkan semangat anak buah tamanggung  Dupa yang  semakin  berkurang. Untuk   mundur  begitu  saja   mereka  merasa   malu,  apalagi telah mengepung desa Tewah selama tiga bulan. Terpaksa diambil keputusan mencoba terakhir kalinya dengan cara bertempur habis-habisan di siang bolong.
          Kembali kecerdikan Balau muncul dalam menghadapi serangan frontal tamanggung Dupa. Pemikiran jenius seperti yang dimiliki Balau  jarang dijumpai pada kaum  wanita pada  masa  itu. Balau memerintahkan adik iparnya Mecen dan Nganen untuk mengumpulkan semua katambung  (gendang panjang berbentuk silinder) yang ada di desa Tewah.
          Dengan patuh semua pendudukmenyerahkan katambung miliknya dengan bertanya-tanya : “Apa gerangan gunanya katambung ini  ? Bukankah musuh masih didepan mata  ?  Bagaimana kita dapat  bergembira  ?”
          Tidak seorang pun dapat menduga maksud Balau, sebab katambung  adalah peralatan hiburan, pelengkap tetabuhan. Ternyata katambung ini  dipasang di dinding  kuta  dengan cara separuh di luar dan separuh lagi bagian yang tertutup jangat (kulit binatang) tempat menabuh berada di dalam, hingga jika dilihat dari jauh bagaikan moncong-moncong meriam.
          Ketika rombongan asang datang mendekat, mereka jadi tertegun. Apakah mampu untuk menghadapi meriam sebanyak itu  ?  Sebenarnya bubuk mesiu penduduk Tewah sudah habis.
          Saat kawanan asang itu bengong dinaikkanlah panggung ke atas pagar kuta berisikan seorang jipen perempuan yang didandani seperti sosok Balau sendiri. Ia lalu menari seperti seorang penari perut atau penari striptease sekarang dengan melepaskan busananya satu persatu di hadapan asang  beratus-ratus orang itu.
          Merupakan suatu pantangan terutama bagi orang yang berperang, maasang, mangayau atau berusaha jika melihat wanita telanjang, karena pasti mendapat sial atau celaka.
          Keadaan ini  membuat tamanggung  Dupa serta  dua ratusan orang sisa anak buahnya itu kemudian mundur teratur dan menghilang, kembali ke kampungnya dengan tangan hampa.
          Berita pengepungan  desa Tewah  dan kemunduran asang itu tersiar ke mana-mana. Sejak itu desa Tewah menjadiaman dan tidak pernah lagi mendapat gangguan. Kabar ini pun sampai ke telinga Pangeran Muhammad Seman, raja Banjar yang berada di daerah hulu sungai Barito dalam perlawanannya terhadap Belanda.
          Dengan tujuan mencari dukungan memerangi Belanda dikirimnya seorang utusan mengantarkan hadiah sebagai tanda bersahabat  serta  memberi gelar  untuk  Nganen yakni  tamanggung Dupa,  sama  dengan nama  pemimpin asang sesuai pilihannya sendiri,  serta  Raden untuk Laut suami Balau dan Nyai untuk Balau, karena keberanian dan kegagahan mereka.                                                       
            Hingga kini sandung (bangunan tempat menyimpan tulang sesudah ditiwah) Nyai Balau masih ada,  terletak di antara perumahan penduduk dalam desa Tewah yang termasuk  kecamatan Tewah kabupaten Gunung Mas.  Sandung wanita suku Dayak yang terkenal ini bertiang tunggal, kesemua bahannya dari kayu ulin, dengan  atap  dari papan  tebal  dipasang melintang hingga kesannya  terlihat panjang.  Di dekatnya terdapat dua buah sapundo (tiang sakral tempat mengikat hewan korban dalam upacara tiwah) bagaikan pengawal sandung tersebut yang kini sudah sangat memerlukan penataan obyek serta lingkungannya.

2 komentar:

  1. Tuh je bujur kesah ah...mantap...

    BalasHapus
  2. Ye tuh je bujur....are je beken manyewut nyai balau kawin dengan kanyapi....pehe atei ikei je puna anak keturunan generasi ka uju.

    BalasHapus